Pesta politik tahun ini untuk pertama kalinya saya banyak mengikuti update perkembanggannya mulai dari awal hingga hari ini, 23 Mei 2019. Ternyata menarik juga untuk mengikuti jalan ceritanya, memandangnya dari banyak sisi dan bukan sebagai pendukung fanatik salah satu paslon. Kadang-kadang mungkin kalo sebagai salah satu pendukung paslon fanatik kita akan cenderung buta dan tuli untuk melihat dari banyak sisi dan cenderung membenarkan yang kita jagokan.
Selain itu tahun ini juga saya meraksakkan gejolak politik Indonesia langsung dikandangnya (Jakarta) jadi lebih terasa sensasinya. Biasanya temen disuksi soal begianian sama-sama liat dari jauh lewat tv, dan media aja. Tapi saat ini bisa liat langsung atmosfernya di Jakarta. hihihi
Pengen menulis apa yang aku pelajari dari aksi demonstrasi yang cukup "seru" bisa di bilang yang terjadi di Jakarta kemarin. karena dari situ saya belajar banyak, bukan hanya dari kejadiannya, tapi dari situ saya terus mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan baru kepada diri saya untuk mencari jawabannya melalui informasi apapun. Jadi banyak nontonin youtube, bacain berita, update sosmed dsb yang bikin isu ini makin menarik untuk di bahas dan didiskusikan.
Pertama, saya belajar kalau istilah "politikus" dan "negarawan" memang itu terdengar engga jauh beda tapi memang tak sama. Berawal dari pertemuan Pak Jokowi dan Mas Ganjar yang mengusulkan perubahan pola pikir masyarakat kalau Indonesia butuh Negarawan bukan lagi politikus membuat saya bertanya, emang apa bedanya? Dari demonstrasi kemarin saya melihat, ketika situasi seperti itu manakah beda politikus dan negarawan. Belajar dari timeline Line sesaat setelah Gusdur dilengserkan dan memberikan pidato mengenai turunnya dia dari kursi kepresidenan. Beliau mengatakan bahwa "kekuasaan ini (Presiden) tidak ada artinya dibandingkan darah bahkan nyawa umatku". Masing-masing dari kita tentunya memiliki ambisi, akan tetapi Negarawan ambisinya bukan sekadar "JABATAN" tapi lebih dari itu. Karena banyak cara untuk dapat berpengaruh dan bermanfaat bukan hanya memanfaatkan jabatan.
Kedua, Apakah "prasangka baik" diperlukan dalam bernegara? Selama ini saya banyak melihat dan berdiskusi juga dengan teman-teman mengenai banyak hal. dimana kebanyakan dari oposisi pemerintah selalu saja mengangkat keburukan dan curiga dengan segala hal yang dilakukan pemerintah (bukan hanya presiden ya, di level manapun oposisi cenderung begitu), mulai dari isu-isu yang berbobot sampe isu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan di goreng di berbagai media untuk menjatuhkan kredibilitas dan kepercayaan publik kepada pemerintah. Apakah mungkin tanpa menjelek-jelekan politik kita dapat berjalan juga? Saya rasa bisa, banyak juga kajian-kajian dari NGO dan individu yang sempat saya baca yang mengulas persaingan pemilu dengan lugas dan bijak. Bukan hanya menggoreng isu-isu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Membut saya belajar satu hal, bahwa apa yang kita kejar boleh dengan niat yang baik, tapi caranya apakah sudah baik? boleh kita berpandangan bahwa politik bisa menghalalkan segala cara, tapi saya memilih untuk tidak. Mengkritik hal yang baik untuk menjaga koridor pemerintah dalam haluan yang tepat, tapi perlu diingat tujuan kita sama untuk membangun, bukan meruntuhkan atau memecah belah Indonesia. Salah satu yang menginspirasi saya adalah Cak Nun, dimana dia memilih untuk tidak lagi berada di lingkaran pemerintah dan memilih hidup dengan rakyat kecil dan mendidik rakyat kecil dengan akhlak yang baik sehingga bangsa ini dapat berjaya dikemudian hari. sama sekali tidak memiliki ambisi politik, tetap menjadi kritikus pemerintah, tatapi tetap aksi nyata membangun Indonesia.
Ketiga, "Istilah guru kecing berdiri, murid kencing berlari" ternyata nyata telihat. Gimana masa selama ini yang "berbasis islam" sangat digaungkan salah satu kubu. Seolah-olah menggiring opini bahwa umat Islam harus memilih beliau karena pada Ulama (guru/panutan/tokoh agama) yang berpengaruh di Indonesia mendukungnya. Apa yang terjadi? Engga sedikit teman dekat yang ketika ada deklarasi dukungan Ulama dan Kyai-kyai langsung berubah haluan dan ikut mendukung paslon tersebut ( tentunya ada pertimbangan lain). Fenomena apa yang saya amati, bahwa tanggung jawab guru untuk mendidik itu engga bisa di bantahkan lagi. lalu pertanyaannya mendidik yang seperti apa? Apakah kita harus menjadi seperti guru kita? berbeda pandangan dan sikap apakah itu juga wajar? saya menjawab, kembali lagi kepada kita masing-masing. karena kita yang memilih dan menentukan. Saya memilih untuk mempertimbangkan segalanya, membaca informasi lebih dalam, dan menentukan sikap untuk tetap berpandangan Indonesia butuh KITA. Dimana setiap tindakan yang akan kita ambil akan diikuti banyak orang, maka dari itu harus bijak dan tepat untuk memilih tindakan. Sehingga dapat berdampak positif bukan hanya untuk diri kita tapi untuk semua.
No comments:
Post a Comment